Syarat dan Rukun Pernikahan Dalam Islam



Pernikahan sebentar lagi dilaksanakan, tapi kok belum tahu hukum-hukum pernikahan?

Padahal, itu penting sekali dipelajari. Apalagi perihal rukun dan syarat sah pernikahan. Sebab, seandainya seseorang melaksanakan akad nikah tanpa melaksanakan akad dan rukun tersebut, batallah pernikahannya dan tidak sah. Walaupun, akad nikahnya ia selenggarakan di depan Ka’bah!

Lantas apa sajakah syarat dan rukun pernikahan? Simak yang berikut ini:

Pertanyaan:

ما هي أركان عقد النكاح ؟ وما شروطه ؟ .

Apa itu rukun akad pernikahan? Dan apa syarat-syaratnya?

Jawaban:

الحمد لله

Segala puji bagi Allah

أركان عقد النكاح في الإسلام ثلاثة :

أولا : وجود الزوجين الخاليين من الموانع التي تمنع صحة النكاح كالمحرمية من نسب أو رضاع ونحوه وككون الرجل كافرا والمرأة مسلمة إلى غير ذلك .

ثانيا : حصول الإيجاب وهو اللفظ الصّادر من الولي أو من يقوم مقامه بأن يقول للزوج زوجتك فلانة ونحو ذلك .

ثالثا : حصول القبول وهو اللفظ الصّادر من الزوج أو من يقوم مقامه بأن يقول : قبلت ونحو ذلك .

Rukun akad nikah dalam Islam ada tiga:

1. Adanya kedua pengantin dalam keadaan bebas dari segala faktor yang menghalangi sahnya pernikahan. Seperti: adanya hubungan mahram, baik berdasarkan keturunan, sepersusuan atau semisalnya. Atau seperti jika si pengantin pria adalah orang kafir sementara pengantin wanita itu muslimah dan yang semacamnya.

2. Terjadinya ijab yaitu lafal yang berasal dari wali atau orang yang menggantikan posisinya dengan mengatakan kepada si pengantin pria, “Saya nikahkan kamu dengan fulanah ” atau ucapan semacamnya.

3. Terjadinya qabul, yaitu lafal yang berasal dari pengantin pria atau orang yang menggantikan posisinya dengan mengatakan, “Saya menerimanya.” atau ucapan semacamnya.

وأمّا شروط صحة النكاح فهي :

أولا : تعيين كل من الزوجين بالإشارة أو التسمية أو الوصف ونحو ذلك .

ثانيا : رضى كلّ من الزوجين بالآخر لقوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا تُنْكَحُ الأَيِّمُ ( وهي التي فارقت زوجها بموت أو طلاق ) حَتَّى تُسْتَأْمَرَ ( أي يُطلب الأمر منها فلا بدّ من تصريحها ) وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ ( أي حتى توافق بكلام أو سكوت ) قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا ( أي لأنها تستحيي ) قَالَ أَنْ تَسْكُتَ رواه البخاري 4741

ثالثا : أن يعقد للمرأة وليّها لأنّ الله خاطب الأولياء بالنكاح فقال : ( وأَنْكِحوا الأيامى منكم ) ولقوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ” رواه الترمذي 1021 وغيره وهو حديث صحيح .

رابعا : الشّهادة على عقد النكاح لقوله صلى الله عليه وسلم : ( لا نكاح إلا بوليّ وشاهدين ) رواه الطبراني وهو في صحيح الجامع 7558

ويتأكّد إعلان النّكاح لقوله صلى الله عليه وسلم : ” أَعْلِنُوا النِّكَاحَ . ” رواه الإمام أحمد وحسنه في صحيح الجامع 1072

Adapun syarat sah pernikahan yaitu:

1. Masing-masing pengantin telah ditentukan, baik dengan isyarat, maupun menyebutkan nama atau sifat atau semacamnya.

2. Kerelaan masing-masing pengantin satu sama lain.

Yang demikan itu berdasarkan sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “Janda (wanita yang pisah dengan suaminya karena meninggal atau cerai) tidak dinikahkan sampai mendapatkan perintah darinya (harus diungkapkan dengan jelas persetujuannya). Dan gadis tidak dinikahkan sebelum diminta persetujuannya (baik dengan perkataan atau diam). Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah,apa tandanya ia setuju?’ Beliau menjawab, “Dia diam.” (HR. Bukhari no. 4741)

3. Yang menyelenggarakan akad bagi pihak wanita adalah walinya.

Sebab, Allah mengarahkan perintah menikahkan kepada para wali:

Allah berfirman: {Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian. } (QS. An-Nur: 32)

Dan juga berdasarkan sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,”Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal.” (HR. Tirmidzi no. 1021) Dan hadits lainnya yang shahih.

4. Adanya saksi dalam akad nikah.

Berdasarkan sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

” Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua saksi. (HR. Thabrani. Hadits ini juga ada dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558)

Dan sangat ditekankan mengumumkan pernikahan. Berdasarkan sabdanya صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Umumkanlah pernikahan. ” (HR. Imam Ahmad dan dihasankan dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 1072).

فأما الولي فيُشترط فيه ما يلي :

1- العقل

2- البلوغ

3- الحريّة

4- اتحاد الدّين فلا ولاية لكافر على مسلم ولا مسلمة وكذلك لا ولاية لمسلم على كافر أو كافرة ، وتثبت للكافر ولاية التزويج على الكافرة ولو اختلف دينهما ، ولا ولاية لمرتدّ على أحد

5- العدالة : المنافية للفسق وهي شرط عند بعض العلماء واكتفى بعضهم بالعدالة الظّاهرة وقال بعضهم يكفي أن يحصل منه النّظر في مصلحة من تولّى أمر تزويجها .

6- الذّكورة لقوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” لا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا . ” رواه ابن ماجة 1782 وهو في صحيح الجامع 7298

7- الرّشد : وهو القدرة على معرفة الكفؤ ومصالح النكاح .

وللأولياء ترتيب عند الفقهاء فلا يجوز تعدّي الولي الأقرب إلا عند فقده أو فقد شروطه . ووليّ المرأة أبوها ثمّ وصيّه فيها ثمّ جدّها لأب وإن علا ثمّ ابنها ثم بنوه وإن نزلوا ثمّ أخوها لأبوين ثم أخوها لأب ثمّ بنوهما ثمّ عمّها لأبوين ثمّ عمها لأب ثمّ بنوهما ثمّ الأقرب فالأقرب نسبا من العصبة كالإرث ، والسّلطان المسلم ( ومن ينوب عنه كالقاضي ) وليّ من لا وليّ له . والله تعالى أعلم.

Adapun perihal wali, diharuskan memenuhi syarat berikut ini:

1. Berakal.

2. Baligh.

3. Merdeka .

4. Kesamaan agama.

Karena itu, seorang kafir tidak bisa menjadi wali bagi seorang muslim maupun muslimah. Dan demikian pula, seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang kafir, baik pria maupun wanita.

Dan boleh bagi seorang kafir menjadi wali bagi wanita kafir, walaupun berbeda agama keduanya. Adapun seorang murtad tidak bisa menjadi wali bagi siapapun.

5. Adil yang menafikan kefasikan.

Ini merupakan syarat menurut sebagian ulama.

Sebagian ulama mencukupkan dengan syarat adil yang nampak di mata.

Sebagian ulama lain berpendapat cukup dengan mempunyai perhatian terhadap kemaslahatan orang yang akan ia nikahkan.

6. Laki-laki.

Yang demikian itu berdasarkan sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Wanita tidak bisa menikahkan wanita lainnya dan wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Karena wanita pezina adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ibnu Majah, no. 1782. Hadits ini ada dalam Shahih Al-Jami no. 7298)

7. Ar-Rusyd (Bijaksana), yaitu kemampuan mengetahui kesetaraan (antara kedua pasangan) dan kemaslahatan pernikahan.

Para wali memiliki urutan menurut fuqaha. Karena itu, tidak boleh melangkahi wali terdekat, kecuali jika wali tersebut tidak ada atau tidak memenuhi syarat.

Wali seorang wanita adalah ayahnya, lalu orang yang ia wasiatkan untuk menjadi wali putrinya.

Kemudian kakek dari pihak bapak sampai ke atas.

Lalu anak laki-lakinya, lalu cucu laki-lakinya sampai ke bawah.

Lalu saudara laki-laki sekandung.

Lalu saudara laki-laki seayah

Lalu anak dari keduanya (yaitu keponakannya).

Lalu paman sekandung

Lalu paman seayah

Lalu anak dari keduanya (sepupu).

Lalu yang terdekat dari sisi keturunan dari kalangan asabat seperti dalam waris.

Lalu penguasa muslim (dan orang yang menggantikannya seperti hakim) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.

Wallahu ta’ala a’lam .

Sumber: http://islamqa.info/ar/ref/2127

Posting Komentar